Dengan Kolaborasi Dan Digitalisasi
Oleh : Iwan Rudi Saktiawan, SSi, MAg, CIRBD
Di era indusitri 4.0 ini, karena sedemikian pentingnya data –Data is the new oil– sehingga banyak perusahaan rela membakar uang hanya untuk dapat data. Google dan Facebook hanyalah segelintir kecil contoh perusahaan berpenghasilan berlimpah karena mampu mengolah data menjadi sumber pendapatan.
Lembaga keuangan mikro syariah (non bank), seperti BMT, KSPPS atau yang lainnya, selanjutnya disingkat LKMS sebenarnya berlimpah dengan data berharga. Sayangnya data tersebut tidak terkumpul secara menyeluruh dan tersistematisir. Jangankan yang detil seperti data UKM anggotanya, transaksi atau rincian kondisi keuangan LKMS, untuk sekedar total aset seluruh LKMS yang ada di Indonesia, hingga saat ini –sepengetahuan penulis- datanya belum lengkap atau kalaupun ada, akurasinya masih dipertanyakan karena kemungkinan besar masih banyak LKMS yang belum terdata.
Untuk perbankan, penghimpunan data relatif sudah berjalan dengan baik. Dengan aturan dan pengawasan yang ketat oleh OJK, setiap bank harus mampu menyetor data sesuai format dan waktu yang ditentukan. Selain ketatnya aturan, hal ini didukung oleh keberadaan staf-staf penyedia data (pelaporan) serta perangkat pendukung lainnya yang tidak mudah untuk diterapkan di LKMS karena bisa berdampak menjadi LKMS yang berbiaya tinggi. LKMS harus efisien agar tidak menjadikan anggota / nasabahnya terbebani dengan biaya dana (margin/ujroh/bagi hasil) yang tinggi.
Penghimpunan data LKMS tentu akan dan harus berbeda. Tulisan ini bukan hasil kajian suatu penelitian atas tema ini, lebih pada sharing berdasarkan pengalaman penulis bekerja di keuangan mikro syariah sejak 1994. Dari kurun waktu tersebut, banyak diantaranya bertugas mengkoordinir penghimpunan data BMT-BMT atau program keuangan mikro (BRR dan di PNMPM Mandiri Perkotaan). Untuk PNPM Mandiri Perkotaan setiap bulannya paling tidak menghimpun dari dari 4.972 unit pengelola keuangan (UPK) berupa neraca, laba – rugi, laporan dana bergulir (termasuk tingkat kelancaran) dan data-data lainnya.
Dari pengalaman tersebut, ada beberapa metode penghimpunan data LKM(S) diantaranya adalah,
- Dinas Koperasi. Setiap koperasi sebenarnya memiliki kewajiban melaporkan ke dinas koperasi setempat. Bila kewajiban tersebut dilaksanakan tepat waktu dan konsisten, maka seharusnya data LKMS yang hampir semuanya berbadan hukum koperasi akan terhimpun. Namun karena jumlah staf dinas koperasi terbatas sedangkan jumlah koperasi sangat banyak serta kesadaran dan kapasitas koperasi melaporkan terbatas, maka data yang ada di dinas koperasi pun terbatas.
- Asosiasi, gerakan koperasi atau koperasi sekunder. Sumber dana untuk membiayai staf yang fokus mengkoordinir penghimpunan data berasal dari iuran dan atau keuntungan asosiasi / lembaga sekunder. Bisnis lembaga sekunder tersebut bersumber dari modal dan simpanan yang disetor oleh anggota-anggotanya. Di beberapa kota Dekopinnya cukup aktif menghimpun data koperasi-koperasi di wilayah kerjanya, sehingga memiliki data.
- Program / project. Sebagai contoh pada program PNPM Mandiri Perkotaan, di setiap kota ada staf yang mendampingi dan mensupervisi UPK untuk penghimpunan data. Sumber dana untuk membiayai staf tersebut berasal dari program yakni PNPM Mandiri Perkotaan yang sekarang namanya menjadi KOTAKU (kota tanpa kumuh). Yang termasuk kategori ini adalah project-project penghimpunan data dan pengolahannya oleh International NGO ataupun lembaga international seperti World Bank ataupun Islamic Development Bank.
Bila berbicara aspek formal, maka data LKMS yang kumplit seharusnya ada di dinas koperasi. Namun jumlah LKMS banyak, sedangkan yang menjadi tanggungjawab dinas koperasi sangat banyak dan jenisnya beragam. Berbeda dengan OJK, jumlah bank terbatas bahkan memang sengaja dibatasi. Oleh karena itu, perlu ada suatu pendekatan yakni leveraging (mengungkit). Diibaratkan dengan mengungkit benda, pendekatan mengungkit adalah mengangkat beban dengan daya yang sama namun mampu mengangkat beban yang lebih banyak. Pendekatan pengungkit setidaknya dilaksanakan dengan dua hal yakni,
- Kolaborasi. Fokus utama dari dana dan ikhtiar dinas koperasi (dinkop) sebaiknya tidak pada pendataan koperasi primer namun pada kerjasama dengan koperasi sekunder serta asosiasi-asosiasi atau lembaga pendamping koperasi seperti PINBUK. Memang tidak semua LKMS bergabung pada asosiasi atau lembaga sekunder yang ada, namun paling tidak tugas dinkop menjadi lebih ringan.
- pengembangan teknologi digital. Masih banyak LKMS yang belum berkemampuan menyediakan teknologi komputerisasi secara mandiri. Bila disupport oleh dinas koperasi, terutama pendanaannya, maka maka bisa sistem komputerasinya bisa lebih berkualitas dan lebih murah.
Adanya trend digitalisasi telah menjadikan telah banyak inovasi layanan keuangan digital bagi keuangan mikro syariah dan biayanya menjadi lebih ringan. Fokus program pemberdayaan koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah (KSPPS) sebaiknya mendorong adanya suatu insentif sehingga tidak hanya operasionalnya terkomputerisasi namun juga terdigitalisasi. Dengan adanya dukungan teknologi digtal dari dinas koperasi maka LKMS harus memberikan imbal balik berupa rutinitas laporan akurat dan tepat waktu.
LKMS harus dimampukan, tidak bisa menunggu mampu atau diperintahkan untuk mampu. Perlu ada suatu ikhtiar sengaja (intervensi) agar LKMS mampu, diantaranya dengan membuat suatu program digitalisasi operiosional LKMS, digunakan bersama oleh LKMS sehingga murah, pihak terkait (misalnya Dinkop) bisa mendapatkan data yang akurat dan tepat waktu.
Pengadaan dan pemeliharaan teknologi digital bagi LKMS sebaiknya dilakukan dengan bermitra pada lembaga pendamping LKMS, asosiasi atau koperasi sekunder. Perhimpunan BMT Indonesia sebagai contoh, telah memiliki sistem komputerisasi yang baik beserta manajemen pengelolaannya yang baik. Demikian juga orginsasi-organsiasi pendamping BMT yang lain seperti PINBUK ataupun Microfin.
Upaya integrasi dan sistematisasi data LKMS yang digagas sesuai dengan ciri di era industry 4.0, yakni kolaborasi dan digitalisasi !