Seri Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga Islami (PEKERTI) #02
Oleh : Iwan Rudi Saktiawan, SSi, M.Ag, CIRBD
Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam, yang juga menjadi dasar bagi manajemen Keuangan Keluarga Islami adalah Istikhlaf. Dalam kajian Islam, ada beberapa kata yang pelafalannya mirip dengan istikhlaf, namun artinya sangat jauh berbeda yakni Ikhtilaf dan Ikhtilat.
ikhtilaf artinya adalah perbedaan pendapat di kalangan ummat Islam. Isitilah ini biasanya digunakan dalam hal perbedaan-perbedaan dalam hal Fiqh. Sedangkan arti ikhtilat adalah pergaulan / pencampuran antara lelaki dan perempuan yang tidak hubungan mahram. Penggunaan istilah ini biasanya ketika membahas masalah akhlaq pergauluan antara lelaki dan perempuan. Sedangkan istilah istikhlaf tidak berada pada dua wilayah pembahasan istilah-istilah tersebut.
Salah satu ulama yang mempopulerkan istilah Istikhlaf, diantaranya adalah oleh Dr. Yusuf Qardhawi dalam Kitabnya “Norma dan Etika Ekonomi Islam”. Secara definisi arti dari Istikhlaf adalah bahwa seluruh harta benda yang ada pada manusia, yang biasanya disebut milik kita, pada hakekatnya adalah hanya titipan dari Allah SWT. Hal ini karena seluruh yang ada di alam semesta ini merupakan milik Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT :
“dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga). “(QS An-Najm : 31)
Dengan demikian, meski secara hukum manusia dan pemahaman yang lazim antar manusia barang-barang tersebut adalah milik kita, tetapi secara hakekat atau secara akidah sebenarnya hanyalah milik Allah SWT yang dititipkan kepada kita.
Dampak atau akibat dari adanya keyakinan atau pemahaman istikhlaf tersebut diantaranya adalah :
Pertama, Kita harus menggunakan harta benda kita sesuai dengan pemilik yang sebenarnya, yakni Allah SWT.
Sebagai contoh misalnya Pak Dedi mendapatkan kepercayaan dari Ceu Nina untuk menggunakan lima buah mobil dan menyimpannya di garasi Pak Dedi. Pada suatu hari, Ceu Nina berkata kepada pak Dedi, agar 1 buah mobil dari lima mobil tersebut diserahkan kepada Pak Surya. Nah, apakah Pak Dedi seharusnya keberatan atau tidak ?…Tentu kita akan sepakat, bahwa jawabannya adalah “Tidak keberatan”.
Selain itu, bila selama mobil-mobil ceu Nina digunakan oleh Pak Dedi, Ceu Nina menerapkan beberapa aturan penggunaan mobil kepada Pak Dedi, apakah Pak Dedi seharusnya keberatan atau tidak?… Sama dengan jawaban sebelumnya, tentu saja Pak Dedi tidak harus keberatan. Hal ini karena mobil tersebut memang bukan milik Pak Dedi tetapi milik Ceu Nina.
Nah, demikian pula dengan harta kita. Karena harta tersebut hanya dititipan Allah SWT maka kita harus menggunakan harta tersebut sesuai dengan seluruh perintah dan larangan dari Allah SWT. Perintah dan larangan tersebut harus dilaksanakan dengan lapang dada tanpa adanya keberatan meski hanya sedikit. Mengapa ? … Karena tokh perintah dan larangan tersebut semuanya berasal dari pemilik harta benda yang sah. Dengan cara pandang seperti itu, maka kita tidak merasa berat untuk berzakat ataupun berinfaq, karena, kenapa harus berat untuk menyisihkan barta / barang yang memang bukan milik kita ? Atau dengan kata lain, kenapa kita merasa keberatan bila pemilik barang meminta barang yang dititipkan kepada kita untuk diserahkan kepada orang lain ?
Dalam konteks manajemen keuangan pribadi atau keluarga, maka dengan cara pandang istikhlaf tersebut, kita akan merencanakan dan mengelola asset kita sesuai ketentuan Allah SWT dengan lapang dada. Ketentuan dari Allah SWT dalam penggunaan harta menjadi acuan perencanaan keuangan, sehingga misalnya menjadikan zakat sebagai prioritas dan berangkat haji menjadi salah satu tujuan jangka panjang keuangan kita.
Kedua,Karena meyakini bahwa harta yang ada pada kita adalah titipan dari Allah SWT, maka kita tidak memiliki keterikatan penuh terhadap harta yang ada pada kita.
Berikut ini sekedar sebuah ilustrasi. Tentu kita tahu kan tukang parkir mobil ? Ada suatu masa di mana tempat parkirnya banyak mobil. Namun pada saat seperti itu, tukang parkir tidak pernah sombong, karena ia menyadari bahwa mobil-mobil tersebut hanya titipan. Demikian pula ketika mobil tersebut tidak ada, ia tidak bersedih hati, karena ia menyadari bahwa mobil-mobil yang ada sekedar titipan yang bisa datang dan bisa juga pergi. Demikian juga sikap kita terhadap harta yang ada. Tidak sombong bila berlimpah karena hanya titipan dan numpang lewat, dan juga tidak bersedih ketika harus dikeluarkan untuk zakat ataupun hilang karena musibah, karena tokh apapun ceritanya, harta tersebut titipan yang kita terima, yang kita pegang namun suatu saat akan diminta kembali.
Dengan memiliki cara fikir tersebut maka kita akan jauh dari sikap sombong, kikir, mudah stress dan terikat / terobsesi dengan harta.
Mungkin pembaca ada yang bertanya, bila harta itu adalah titipan, kemudian kenapa kita dimotivasi untuk mencari rizki ? …. Kita termotivasi untuk mencari rizki, karena itu diperintahkan oleh Allah SWT. Bekerja mencari nafkah adalah dengan niat karena Allah SWT, untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Selain itu, dengan memiliki harta yang memadai, memberikan peluang beramal lebih banyak bagi kita.