APA BENAR ISLAM MELARANG KITA KAYA ?

(Seri PEngelolaan KEuangan Rumah Tangga Islami – PEKERTI 01)

Oleh : Iwan Rudi Saktiawan, S.Si, M.Ag, CIRBD

 

Tak jarang, pada sesi awal training manajemen keuangan keluarga Islami, banyak yang bertanya :

“…Kenapa sich membahas hal ini ?.. Bukankah Islam menyatakan bahwa kemiskinan itu bukan masalah ?…” Atau juga dengan pernyataan seperti ini:

“Saya penasaran dan ingin tahu betul, apa benar ngak sich Islam itu tidak memperkenankan ummatnya untuk kaya ?  Dari materi-materi yang saya terima dari beberapa ustadz koq sepertinya begitu…”

Atau ada juga yang menyatakan sebagai berikut :

“Sudahlah, kemskinan itu tidak perlu diubah, itu adalah ladang pahala bagi yang mengalaminya…”

Atau, …:

“Menjadi kaya banyak hisab (perhitungannya) nanti di akhirat. Kenapa kita tidak menerima apa adanya dan tidak usah berusaha menjadi kaya…”

Namun, apakah benar agama Islam melarang untuk kaya ? Apakah menjadi kaya itu menjadi sesuatu yang harus dihindari dalam pandangan Agama ?  …

Bila kita kaji lebih dalam, meski agama tidak mencela atau menghina orang orang miskin, namun Islam mendorong ummatnya untuk memiliki harta yang memadai (kaya). Hal ini dapat dilihat dari hadits-hadits berikut ini :

  1. Islam memerintahkan memperhatikan keluarga (ahli waris) yang akan ditinggalkan, supaya mereka jangan sampai hidup melarat yang menadahkan tangannya kepada manusia.

Kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka hidup melarat/miskin yang menadahkan tangan-tangan mereka kepada manusia (meminta-minta)”.

(Hadits Riwayat Bukhari 3/186 dan Muslim 5/71 dan lain-lain)

Hadits ini menyatakan bahwa meninggalkan ahli waris dalam kondisi yang kaya adalah lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi yang miskin.  Dengan demikian, hadist ini memotivasi kita untuk produktif dalam mencari nafkah, sehingga ahli waris kita dapat ditinggali dengan harta warisan yang memadai.

  1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dari hidup dalam kefakiran dan kelaparan.
    • Dari Aisyah (ia berkata) : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a dengan do’a-doa ini : Allahumma … (Ya Allah, sesungguh-nya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka, dan dari fitnah kubur dan azab kubur, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kekayaan, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kefakiran ….” (Shahih Riwayat Bukhari 7/159, 161. Muslim 8/75 dan ini lafadznya, Abu Dawud No. 1543, Ibnu Majah No. 3838, Ahmad 6/57, 207. Tirmidzi, Nasa’i, Hakim 1/541 dan Baihaqi 7/12).

(2) Hadits Abi Hurairah :

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekurangan dan kehinaan, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya”. (Shahih Riwayat Abu Dawud No. 1544, Ahmad 3/305,325. Nasa’i, Ibnu Hibban No. 2443. Baihaqi 7/12).

Dua hadits di atas, menunjukkan bahwa kefakiran adalah hal yang kurang baik.  Karena merupakan hal yang kurang baik, maka Rasulullah memohon perlindungan dari Allah SWT. Karena do’a di atas juga merupakan suatu keteladanan yang perlu kita ikuti, maka secara esensi pun, berlindung (menghindari) dari kefakiran adalah hal yang perlu kita lakukan sebagai pengamalan kita atas keteladanan Rasulullah SAW.

  1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan Anas bin Malik :

Ya Allah ! Banyakkanlah hartanya dan anak-anaknya serta berikanlah keberkahan apa yang Engkau telah berikan kepadanya“. (Hadits Riwayat Bukhari 7/152, 154,161-162. dan lain-lain).

Pada hadits ini Rasulullah SAW mendo’akan agar sahabatnya memiliki harta yang banyak.  Bila memiliki harta yang banyak suatu hal yang kurang baik, maka tentu Rasulullah SAW tidak akan mendo’akan seperti itu.

  1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada sahabatnya Hakim bin Hizaam :

“Wahai Hakim! Sesungguhnya harta ini indah (dan) manis, maka barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang baik, niscaya mendapat keberkahan, dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang tamak, niscaya tidak mendapat keberkahan, dan ia seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang, dan tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yang meminta)”. (Hadits Riwayat Bukhari 7/176 dan Muslim 3/94)

Hadits ini termasuk memotivasi untuk memiliki harta yang memadai. Pertama karena dinyatakan bahwa harta itu indah dan manis, serta dinyatakan bahwa tangan di atas (memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (menerima bantuan).  Meski untuk menjadi dermawan tidak harus kaya raya dan belum tentu juga orang yang kaya raya otomatis dermawan, namun dengan menjadi kaya maka bila orang tersebut dermawan akan banyak harta yang dapat ia dermakan.  Dengan demikian, menjadi orang kaya akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk beramal dan memberi manfaat bagi orang lain dengan hartanya.

Sebenarnya, dalam mencari harta, sudah banyak yang termotivasi untuk melakukannya.  Namun dalil-dalil di atas perlu dikemukakan untuk lebih memahamkan kita, bahwa ibadah (agama) dan mencari harta bukan sesuatu yang terpisah.  Agama pun memotivasi untuk melakukan itu.  Hanya saja, Islam memberikan tuntunan mencari harta dan mengelola harta yang benar.

Untuk itu, pada tulisan-tulisan selanjutnya kita akan membahas tentang bagaimana kita mengelola harta kita berlandaskan Islam. Kajian terutama pada pokok bahasan yang menurut penulis sering disalahfahami sehingga seolah kita tidak diperkenankan kaya seperti tentang zuhud, qonaah, tawakal dan sebagainya.

*******

Penulis adalah Direktur BPRS Botani. Trainer PEngelolaan KEuangan Rumah Tangga Islami (PEKERTI). Pernah menjadi penulis tetap tentang PEKERTI dan Keuangan Syariah di Majalah Swadaya Daarut Tauhiid, Harian Aceh, dll; pengisi tetap MQFM, Serambi FM, dan lain-lain.