Oleh Iwan Rudi Saktiawan, SSi, M.Ag, CIRBD
Salah faham arti Tawakal
Suatu malam, kami bertiga akan shalat Isya di mesjid Salman ITB Bandung. Sebelum masuk terdapat tulisan ini :
Mohon sepatu / sandal Anda dititipkan, rawan pencurian
Kami celingukan, tidak ada penjaga sandal/sepatu karena sudah terlalu malam. Informasi yang kami dengar, pengumunan itu dibuat karena di mesjid ini sudah sering ada pencurian sandal atau sepatu.
Salah seorang teman kami dari Daarut Tauhiid Bandung berkata,”Kita tawakal saja.”
Apa yang terjadi setelah ucapan itu ? … Saya meletakkan sepatu di depan mesjid, sementara dua teman saya, termasuk yang mengucapkan kata tawakal tersebut, membawa sepatu itu ke dalam mesjid dan meletakkan di depan posisi shalat mereka.
Waduh ! Ternyata persepsi saya saat itu tentang tawakal masih salah. Pemahaman saya waktu itu,”Ya sudah. Sepatu simpan saja di luar, kita serahkan saja pada Allah SWT, mau dicuri atau tidak, gimana nanti saja.” Padahal ternyata arti tawakal bukan itu !
Benar, secara sederhana tawakal itu berserah diri kepada Allah, namun kesalahan sebagaimana yang dicontohkan dari kisah di atas, adalah tidak didahului oleh ikhtiar yang maksimal. Pada tulisan ini ada baiknya kita menyimak penjelasan Imam Ahmad, ahli hadits dan salah satu imam fikih terkenal, tentang pengertian tawakal :
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, ‘Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rizkiku datang sendiri’. Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku.”
Dan beliau bersabda:
“Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikan-Nya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka mencari rizki.
Selanjutnya Imam Ahmad berkata: “Para Sahabat berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita”.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa berserah diri dilakukan setelah kita berikhtiar maksimal. Burung-burung dalam hadits itu mendapatkan rizki setelah beterbangan untuk mencari makan, bukan hanya sekedar duduk-duduk di dalam sarangnya. Untuk memahami lebih jauh makna tawakal perhatikan pula hadits berikut ini :
“Seseorang berkata kepada Nabi , Aku lepaskan unta-ku dan (lalu) aku bertawakkal?’ Nabi bersabda: ‘Ikatlah kemudian bertawakkallah’.” (HR Imam Ibnu Hibban dan Hakim)
Dari hadit itu disebutkan, ikatlah dahulu (ini menunjukkan ikhtiar), setelah diikat barulah kita berserah diri pada Allah SWT (tawakal).
Bila di awal tulisan ini penulis bercerita tentang pemahaman yang salah tentang tawakal, maka berikut ini adalah contoh penerapan makna tawakal yang benar.
Dikisahkan ada seorang teman yang tengah mengikuti test masuk menjadi karyawan sebuah perusahaan besar multinasional. Pekerjaan itu menjadi impiannya selama ini, serta diharapkan menjadi jalan untuk membantu keluarganya yang tidak mampu. Tes yang dilakukan cukup panjang dan berat dan memakan beberapa hari. Alhamdulillah, ia terus lolos dari tahapan demi tahapan yang harus ia lalui. Setelah keseluruhan proses dilakukan, pada malam hari, di mana besok harinya merupakan pengumuman siapa yang lolos dan tidak, teman tersebut terlihat sangat tenang. Bahkan ia bisa tidur nyenyak sekali.
Penulis bertanya,”Koq bisa tenang ya ?”
Ia menjawab,”Kita diwajibkan untuk berikhtiar maksimal. Setelah sudah tidak ada lagi yang bisa kita lakukan, maka selanjutnya kita hanya bisa berdo’a kemudian berserah diri kepada Allah SWT.”
Ya. Itu adalah contoh sebuah sikap yang ber-tawakal. Ikhtiar maksimal, setelah tidak ada lagi ikhtiar yang mungkin bisa kita lakukan, maka kita berdo’a dan menyerahkan hasilnya pada Allah SWT. Dengan sikap itu, maka kita akan menjadi pribadi-pribadi yang tenang dan terhindar himpitan stress, karena yang menjadi fokus adalah pada hal-hal yang bisa kita lakukan bukan pada hal-hal di luar kemampuan kita.
Tawakal pintu Rizki
Allah berfirman,
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Se-sungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3).
Nah, ayat di atas menunjukkan bahwa dengan bertawakal maka seseroang akan dicukupkan kebutuhannya. Selain ayat di atas, perhatikan pula hadits berikut ini :
“Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki…”(HR Ahmad)
Dengan dasar keimanan bahwa apa yang dinyatakan oleh Allah SWT, dan Rasulullah SAW adalah benar, maka kita harus meyakini tawakal adalah salah satu pintu pembuka rizki sebagaimana ayat dan hadits tersebut.
Secara logika yang sederhana pun, hal tersebut sebenarnya mudah kita fahami. Orang yang bertawakal, maka ia akan fokus dan berupaya maksimal pada aspek-aspek yang dalam kelaziman mampu dilakukan oleh manusia. Sebagai contoh dari hadits tentang ’mengikat unta’, ikhtiar maksimal yang lazim orang mampu melakukannya untuk menghindari pencuri adalah dengan mengikatnya. Tidak tidur semalaman untuk menjaga unta setelah mengikatnya, adalah di luar kemampuan yang lazim yang ada pada manusia.
Setelah melakukan ikhtiar optimal, dan sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Maka orang yang bertawakal bersikap optimis dengan menyerahkan diri pada Allah SWT hasilnya. Dengan demikian orang yang bertawakal, setelah berikhtiar dan hasilnya belum ada, ia bersikap tenang tidak stress. Bila hasilnya sudah dapat diketahui dan ternyata tidak berhasil, dia menerima hasil tersebut dengan lapang dada. Sebaliknya, bila ternyata hasilnya baik, maka ia bersyukur.
Maka, bagi orang yang bertawakal kinerjanya akan terus membaik. Hal ini dapat tejadi karena bagi dia, tidak ada istilah kecewa atas hasil-hasil yang gagal, dan tidak ada kesombongan atau kelengahan atas keberhasilan. Fokus dia adalah pada ikhtiar, ikhtiar, ikhtiar. Hasil jelek ridho, hasil bagus syukur. Nothing to lose. Dengan demikian kinerjanya dari hari ke hari akan semakin bagus, karena tidak akan stress oleh tekanan pekerjaan dan akan selalu terus maksimal berikhtiar apapun hasilnya.
Orang yang bertawakal, memiliki mental juara. Menjadi berhasil adalah masalah waktu, karena ia telah menapaki jalan keberhasilan itu. Demikian pula dengan proses penjemputan rizki, orang yang bertawakal rizkinya akan diberikan oleh Allah SWT, cepat atau lambat. Dengan demikian para pembaca Medan bisnis yang budiman, salah satu sikap untuk memudahkan menjemput rizki adalah bertawakal.
*******
Penulis adalah Direktur BPRS Botani. Trainer PEngelolaan KEuangan Rumah Tangga Islami (PEKERTI). Pernah menjadi penulis tetap tentang PEKERTI dan Keuangan Syariah di Majalah Swadaya Daarut Tauhiid, Harian Aceh, dll; pengisi tetap MQFM, Serambi FM, dan lain-lain.