Oleh : Iwan Rudi Saktiawan, SSi, MAg, CIRBD
Siapapun tidak menyangkal bahwa teknologi digitalisasi telah mewabah dan mengubah peta dunia bisnis saat ini. Akibat digitalisasi, banyak ritel tutup[1] dan 1.175 kantor cabang bank tutup[2]. Di era disrupsi ini, perusahaan transportasi terbesar dunia, justru dipegang oleh perusahaan baru, yang tidak memiliki satupun armada transportasi, yakni UBER.
Namun, atas fenoma tersebut, ada juga yang berpendapat bahwa lembaga keuangan seperti BPR(S) atau koperasi (kopsyah) tidak perlu tergoda untuk mengembangkan financial technology (fintech). Alasan dari pendapat itu karena lembaga-lembaga keuangan seperti BPRS(S) ataupun koperasi keunggulannya karena berbasis komunitas atau karena kedekatannya dengan nasabah. Benarkah pendapat itu ?
Mungkin pendapat tersebut disebatkan karena selama ini Fintech sering disempitmaknakan sama seperti Pinjol (pinjaman online) yang sering mengirim penawaran pinjol via SMS dengan debt collector yang menyeramkan sebagaimana banyak diberitakan. Padahal model bisnis fintech sangat beragam, dan akan terus beragam.
Fakta-fakta yang ada justru menunjukan hal sebaliknya. Beberapa koperasi yang menerapkan fintech, malah semakin guyub. Sengaja pada tulisan ini, contoh-contohnya adalah koperasi, suatu institusi yang memang didisain bahwa kedekatan antara lembaga dan yang dilayani (anggota) menjadi suatu keharusan. Dengan demikian, untuk lembaga yang kedekatan lembaga ke anggota dan antar anggota menjadi suatu keharusan tidak masalah dengan penerapan Fintech apalagi untuk BPR(S).
Contoh yang tersaji ada 4, dua berasal dari Indonesia dan dua dari luar negeri. Dari karakteristik usaha atau model bisnis, disajikan dua koperasi yang bermodel grameen bank, dan dua lagi serba usaha.
- Amartha Mikro Fintek. Amartha adalah salah satu pionir fintech di Indonesia. Menariknya, Amartha adalah lembaga keuangan syariah berpola grameen bank (pendekatan kelompok tanggung renteng). Kelembagaannya semula adalah koperasi syariah di tahun 2010, kemudian mendirikan PT Amartha mikro Fintek di tahun 2015. Setelah menjadi fintech, pendekatan kelompok tetap berjalan seperti pendidikan sebelum pencairan, pertemuan rutin mingguan, dan sebagainya[3]. Yang berubah adalah funding-nya. Semula funding berasal dari bank umum atau lembaga keuangan, sekarang sumber utama fundingnya didapat secara online melalui PT Amartha mikro Fintek. Dengan adanya platform digital, Amartha berkembang pesat. Di tahun 2013, omzet pembiayaan hanya pada kisaran 5 M, namun di tahun 2018 pembiayaan Amartha menembus 700 M untuk lebih dari 170 ribu anggota, di 3.500 desa.
- Koperasi Warga Semen Gresik (KWSG). Koperasi ini berdiri 29 Januari 1963, dengan mayoritas anggotanya adalah karyawan PT Semen Gresik. Berawal dari usaha sayur mayur untuk kebutuhan anggotanya, kini KWSG memiliki 70 kantor cabang dengan beragam divisi usaha seperti toko material, simpan pinjam, restoran dan sebagainya. KWSG adalah koperasi asal Indonesia yang masuk 300 koperasi besar dunia. Di akhir 2017 aset KWSG mencapai 1,245 triliun rupiah. Sejak tahun 2018 KWSG telah berplaftorm digital, diantaranya adalah dengan adanya KWSG mobile dan kartu anggota koperasi digital. Adanya digitalisasi tidak menjadikan KWSG hilang ruh koperasinya, justru menjadi bertambah guyub.[4]
- Koperasi Desjardins Kanada. Koperasi Desjardins merupakan Credit Union (CU) terbesar di Amerika Utara, didirikan pada 1900 di Levis, Quebec oleh Alphonse Desjardins. Selain menjadi teladan dari aspek perkoperasiannya, usaha koperasi ini berkembang sangat pesat. Selain terdiri dari 293 CU local, koperasi ini memiliki usaha bank (termasuk salah satu terkuat di dunia menurut majalah Banker), asuransi, real estate dan sebagainya. Robby Tulus, salah satu tokoh International Cooperative Alliance asal Indonesia, mendeskripsikan layanan fintech di koperasi tersebut sebagai berikut :
- Grameen Bank. Tentang Grameen Bank, informasinya sudah banyak tersedia di dunia maya, sehingga tidak akan diurai lagi di sini. Yang disampaikan di sini adalah bahwa grameen bank pun ternyata sudah mengimplementasikan digitalisasi, yang salah satunya ada di web www.businessmirror.com “Local fintech, Grameen Foundation use technology to empower the poor”. Prinsip-prinsip Grameen bank untuk pemberdayaan masyarakat miskin tidak berubah dengan adanya digitalisasi, malah menjadi semakin kuat.
Tidak menutup kemungkinan, bisa jadi ada BPRS atau Koperasi yang setelah melakukan proses digitalisasi keuangan, kinerjanya menurun atau tingkat kedekatan dengan anggota / nasabahnya manjadi renggang, namun karena tidak terpublikasikan sehingga kita tidak mengetahuinya. Meskipun hal tersebut mungkin ada, namun dengan adanya contoh sebagaimana disampaikan sebelumnya menunjukkan bahwa penerapan fintech tidak menggerus nilai-nilai kebersamaan dan kebersamaan tetap menjadi keunggulan di koperasi-koperasi tersebut. Hal ini menegaskan bahwa bahwa kemajuan teknologi bisa digunakan seoptimal mungkin untuk menguatkan visi – misi dan pencapaian tujuan lembaga dan bukan sebaliknya. Ketika keunggulan dan pangsa pasar kita adalah komunitas, maka fintech bisa dan harus dioptimalkan untuk mendukung keunggulan tersebut.
Fintech memungkinkan bagi suatu lembaga keuangan syariah pelaksanaan bisnisnya lebih sempurna aspek syariahnya. Tanpa fintech, pelaksanaan aspek syariah bisa dilaksanakan dengan sempurna namun dengan adanya fintech, pelaksanaan keuangan syariah bisa dilaksanakan dengan lebih baik, lebih mudah dan lebih murah.